ADMINISTRASI NEGARA DAN KEBIJAKAN
PUBLIK:
MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL MELALUI:
PROSES DELIBERATIF
Pergulatan
untuk mewujudkan keadilan terus berlangsung sejak zaman Plato dan Aristoteles
sejak berabad-abad lalu hingga saat ini. Demikian pula bagi bangsa Indonesia,
keadilan sosial merupakan salah satu cita-cita yang ingin diwujudkan. Dalam
sejarah konstitusi Indonesia, tiga konstitusi pernah berlaku di Indonesia dan
ketiganya sangat diwarnai oelh cita-cita terciptanya masyarakat Indonesia yang
berkeadilan sosial (Rasuanto, 2005). Melalui pelaksanaan keadilan sosial
diharapkan bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang egaliter, mengakui
perbedaan, mengakui persamaan hak, penuh kasih, dan fairness.
Keadilan
Rawls
berpendapat bahwa konsepsi keadilan haruslah berperan menyediakan cara bagi
institusi institusi sosial utama,termasuk negara,untuk mendistribusikan hak hak
fundamental dan kewajiban,serta menentukan pembagian hasil dari kerjasama
sosial. Suatu masyarakat tertata dengan benar apabila tidak hanya dirancang
untuk memajukan nilai nilai yang baik bagi warganya, melainkan apabila di
kendalikan secara efektif oleh konsepsi publik mengenai keadilan.
Keadilan
sosial dalam pandangan Habermas merupakan hasil konsensus rasional yang
diperoleh dari proses diskursus,yaitu bagaimana mencapai persetujuan mengenai
apa yang di anggap adil. Dalam konsep diskursus ini, keadilan bukan hanya milik
pemerintah atau penguasa,tetapi juga milik masyarakat. Oleh karenanya dalam
merumuskan dan mewujudkan keadilan sosial,masyarakat harus dilibatkan.
Berdasarkan
konsep Rawls dan Habermas ini maka keadilan sosial akan tercapai apabila
berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat dapat dikomunikasikan dan dikelola
demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat,kususnya masyarakat minoritas dan
kurang beruntung. Namun demikian,perlu disadari bahwa untuk mewujudkan keadilan
sosial sangat tergantung pada struktur proses proses
ekonomi,politis,sosial,budaya,dan ideologis dalam masyarakat.
Administrasi negara dalam
perspektif keadilan sosial
Ketiga
paradigma administrasi negara dalam praktik administrasi negara tetaplah
berlaku dan dapat bekerja secara bersamaan dalam suatu negara,tergantung pada
locus dan focus administrasi negara. Pada organisasi militer dan
kepolisian,sangatlah tepat apabila menggunakan paradigma OPA. Organisasi
militer,kehakiman,lembaga pemasyarakatan,hukum,dan kepolisian yang sangat
menjunjung tinggi aspek hirarki,ketika membuat dan melaksanakan kebijakan tentu
tidak cocok bila menggunakan pendekatan NPM yang berorientasi bisnis atau NPS
yang berorientasi pada citizen charter.
Bagi
lembaga/departemen ekonomi,keuangan,industri,BUMN/BUMD,yang berorientasi pada
bisnis tentunya akan cocok bila praktek administrasi negara dan kebijakan
publiknya menggunakan pendekatan NPM. Sedangkan institusi yang berorientasi
pada upaya membangun kesejahteraan sosial,penanganan bencana,lembaga
riset,penyelenggaraan layanan kepada publik,seperti kesehatan,pendidikan,atau
berbagai aktifitas yang berhubungan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat,akan lebih cocok bila menggunakan pendekatan NPS. Demikian pula
administrasi negara yang memiliki fokus pada persoalan keadilan sosial,akan
lebih cocok bila menggunakan pendekatan NPS atau governance.
Kebijakan Publik dan Keadilan
Sosial
Kebijakan
publik adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah
publik. Ketika pemerintah tidak melakukan tindakan apapun terhadap suatu
masalah publik, juga dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik. Secara
teoritis kebijakan publik dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu perumusan
kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pemantauan kebijakan,
dan evaluasi kebijakan.
Negel
(1984) menyebutkan adanya tiga elemen penting yang dapat menentukan kualitas
suatu kebijakan, yaitu: policy stakeholders, policy environment, dan public
choices. Anderson (2003) melihat lima faktor yang dapat mempengaruhi proses perumusan
kebijakan yaitu: (1) political culture. (2) Socio-economic condition. (3)
Official policy-maker. (4) Nongovernmental participants. (5) Level of politics.
Proses perumusan kebijakan publik sering dihadapkan pada persoalan heterogenity
of interests, yaitu suatu konflik kepentingan di antara para pilicy stakeholder
kebijakan dalam masyarakat.
Keadilan
sosial adalah nilai yang harus diwujudkan dalam masyarakat yang demokratis.
Bagaimana policy makers menempatkan nilai keadilan sosial ini adalah proses politik.
Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan publik di era demokrasi dan good
governance saat ini sangatlah dibutuhkan. Demokrasi yang melandasi kehidupan
politik modern mengaharuskan setiap pengambilan keputusan didiskusikan dengan
masyarakat.
Melalui
partisipasi masyarakat, selanjutnya akan diperoleh kebijakan publik yang sesuai
dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat (deLeon, 1997; Macedo, 2005;
Schachter,2007).
Cara
terbaik dalam menyerap informasi dan aspirasi masyarakat sebagai bentuk partisipasi
masyarakat antara lain melalui: (a) Strategi “jemput bola”, (b) Membaca
berbagai surat pembaca atau “SMS” warga yang tersedia di media masa, (c) Selalu
berhubungan dengan lembaga-lembaga studi, LSM, atau perguruan tinggi untuk
menemukan isu publik yang hangat (d) mengubah sikap mental elit dalam pembuatan
kebijakan. Ketika policy makers tidak tepat dalam mendefinisikan masalah, bisa
jadi kebijakan publik yang dihasilkan juga tidak tepat.
Kebijakan Publik Deliberatif untuk
Mewujudkan Keadilan Sosial
Salah
satu tantangan terbesar demokrasi saat ini adalan bagaimana menjamin
penghormatan terhadap hak-hak warganegara dan mengakomodasi keanekaragaman yang
ada dalam masyarakat (Delanty, 2002). Proses deliberatif dapat dipandang
sebagai upaya membangun masa depan kebijakan publik yang demokratis (Barber
1984; Gastil, 1993; Fung&Wright 2003). Demokrasi deliberatif dapat
dipandang sebagai upaya membangun kembali kepercayaan publik melalui
ketersediaan ruang untuk perdebatan, di mana para pemangku kepentingan dapat
mempertanyakan akuntabilitas pemerintah dan memberikan advokasi dalam pembuatan
kebijakan publik (Newell&Wheele, 2006).
Menurut
teori diskursus, Habermas (1984) mengembangkan pendekatan demokrasi
deliberatif, untuk meningkatkan kualitas partisipasi warga negara dalam
pembuatan kebijakan publik. Kondisi komunikatif yang memungkinkan terbukanya
ruang publik untuk diskusi rasional diharapkan terwujud guna membuka diskursus
terkait persoalan publik dalam proses kebijakan yang demokratis.